Ketika Memanggil para muridNya, Yesus berkata, "Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia." Maka mereka segera meninggalkan jalanya dan mengikut Dia (Markus 1 : 17 - 18). Apakah untuk mengikut Allah kita juga harus meninggalkan kehidupan duniawi kita? Meninggalkan pekerjaan dan keluarga kita, seperti para murid meninggalkan jala mereka? Banyak orang berpendapat demikian. Benarkah? Salah! Ketika mereka kembali ke profesi mereka sebagai nelayan Yesus tidak marah. Yesus malah bersedia menolong mereka (Yohanes 21:6). Memang orang yang terlalu sibuk dengan dengan pekerjaannya, bisa jadi mereka melupakan Tuhan. Tetapi seorang pendeta pun, yang disebut hamba Tuhan, juga bisa mengkhianati Tuhan. Berbicara keseimbangan bukan persoalan pilihan. Tetapi persoalan penghayatan. Keseimbangan hidup sorgawai dan duniawi berarti segala aktivitas duniawi kita pun memiliki makna rohani. Demikian juga segala aktivitas rohani kita pun berdampak dalam pekerjaan duniawi. Jadi keseimbangan hidup sorgawi dan duniawi bukan pilihan aktivitas atau kegiatan, tetapi keseimbangan penghayatan kehidupan. Baik pekerja rohani (rohaniawan) atau pekerja duniawi (awam) menghayati bahwa kehidupannya sebagai panggilan Tuhan dan melakukannya dengan sungguh sebagai bagian dari ibadah, pelayanan dan kesaksiannya. Panggilan Yesus, "Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia" menunjukkan hakikat keseimbangan hidup manusia. Pertama, panggilan Allah datang kepada seseorang, bukan hanya di dalam rumah Allah, tetapi di tengah-tengah pekerjaan sehari-hari. Tuhan tidak menginginkan penjala menjadi pengusaha apalagi menjadi pendeta. Bukan masalah perubahan profesi, justru melalui pekerjaan yang selama ini telah kita tekuni sehari-hari Allah memanggil untuk bekerja di dalamnya. Kedua, panggilan Tuhan dinyatakan melalui pekerjaan kita. Rencana manusia hanya sempit terbatas menjala ‘ikan’. Rencana Tuhan jauh lebih luas yaitu menjala ‘manusia’. Yesus tahu benar bahwa apa yang akan dilakukan mereka akan menjadi sebuah rancangan indah bila dilakukan bagi Allah. Ia tidak lagi tertarah pada diri sendiri (menjala ikan), tetapi pekerjaan yang berdampak bagi Allah dan sesama (menjala manusia). Keseimbangan hidup sorgawi dan duniawi berarti ada perubahan tujuan dalam penghayatan hidup. Bahwa segala aktivitas hidup bukan lagi bagi diri sendiri. Bukan untuk bersenang-senang. Atau mencari kenyamanan. Bukan pula sekedar perhitungan untung atau rugi. Tetapi hidup yang sejatinya adalah amugerah pemberiaan Allah, juga harus dilakukan untuk, oleh dan bagi kemuliaan Allah. Segala kemurahan pemberianNya hanya bisa diimbangi dengan kehidupan yang melayani. Keseimbangan itu dilakukan hanya dengan satu jalan, menerima panggilanNya, “Ikutlah Aku.” Amin.
Link Sumber